Beberapa waktu lalu terdapat sebuah trend keuangan yang ditujukan untuk mendorong seseorang untuk secara terbuka membatasi pengeluaran berdasarkan tujuan finansial utama mereka. Hal ini tentunya berbeda dengan narsisme, yang mendorong pembuatan fakta untuk menjaga citra atau menuruti tekanan sosial. 

Budaya Loud Budgeting sendiri pertama muncul melalui seorang influencer TikTok. Dalam kontennya, mengajukan istilah tersebut yang terkait dengan budaya spending yang terjadi pada Generasi Millenial dan Generasi Z. Secara tidak langsung menginginkan untuk mayoritas sosial untuk merefleksikan diri sebelum mengayunkan keuangan mereka terhadap hal yang tidak menjadi target utama pengeluaran. 

Kenaikan harga, ditambah dengan adanya pencetusan beberapa aturan pemerintah seperti Tapera yang memotong sebesar 3% dari gaji yang diterima karyawan, membuat masyarakat terutama Generasi Z sekarang ini memikirkan dua kali sebelum mengeluarkan budget dalam hal yang tidak penting. 

Trend ini sekaligus menjadi kritik terhadap konsep populer untuk menghadapi tekanan finansial beserta FOMO (Fear Of Missing Out), gaya hidup konsumtif, dan pengaruh media sosial yang umumnya berasal dari influencer. Secara tidak langsung, Loud Budgeting juga mengkritik norma sosial yang berfokus kepada stratifikasi pergaulan. 

Selain itu faktor lain seperti distribusi pembayaran pajak yang tidak seimbang dengan pemasukan menyebabkan adanya penguatan niat Generasi Z untuk berhemat dengan skala yang terkadang ekstrim. Penghematan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara variatif seperti menaiki transportasi umum, tidak membeli baju yang sedang trend secara berlebihan, ataupun bepergian tanpa tujuan yang jelas. 

Loud Budgeting membantu orang untuk menetapkan batasan keuangan yang sehat dengan menetapkan prioritas yang lebih bermakna seperti; Investasi, Tabungan Emas, dll. Loud Budgeting menekankan komunikasi transparan tentang apa yang bisa atau tidak bisa dibelanjakan, konsep ini sejalan dengan Frugal Living. Sebagai contoh, seseorang yang mempraktikkan loud budgeting mungkin akan menyarankan pertemuan di rumah dengan teman-temannya, sebagai peralihan terhadap makan di luar yang lebih mahal. Tujuannya bukan untuk terlihat pelit, tetapi untuk menghargai uang dan mengelola keuangan secara bijaksana, tanpa merasa malu atau tertekan.

Namun Loud Budgeting tersebut bukanlah konsep yang sempurna, terdapat beberapa kekurangan baik secara human factor ataupun dinamika sosial. Loud Budgeting, dalam beberapa kasus enggan diterima oleh beberapa kelompok sosial tertentu sehingga berpotensi menjadi bumerang kepada orang yang menerapkan Loud Budgeting tersebut. 

Dalam kasus tertentu atau kelompok tertentu, Loud Budgeting dapat dilihat sebagai karakteristik ‘pelit’ atau hitung-hitungan yang berpotensi mengalienasikan seseorang dari grup circlenya. 

Dalam menerapkan Loud Budgeting tersebut seseorang juga akan rentan terhadap Overthinking dalam pengeluaran tertentu atau Insekuritas terhadap informasi pribadi, dimana jika disampaikan kepada target audience yang tidak tepat akan menjadi bahan korban penuduhan jika fasilitas yang dikeluarkan tidak sesuai dengan ekspektasi atau dapat dijadikan bahan manipulasi psikologis oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab.

Sebagai para mahasiswa UNDIRA yang berbijaksana dalam mengelola kehidupan secara profesional dengan mengedepankan integritas, untuk menghadapi turbulensi ekonomi yang sedang terjadi di Indonesia. Dalam perkuliahan Akuntansi dan Manajemen UNDIRA yang memberikan berbagai pengetahuan terhadap pengelolaan baik dalam keuangan atau resiko, diharapkan mahasiswa lebih aware terhadap loud budgeting serta pemantauan perkembangan keuangan demi masa depan mereka.