Di Balik Label di Tengah Sosialita: Ketika Identitas Ditentukan oleh Orang Lain

Dalam era globalisasi, interaksi lintas budaya, sosial, dan pertukaran informasi berlangsung dengan cepat dan intens. Generasi muda secara aktif terdorong untuk membuka wawasan mereka terhadap dunia. Globalisasi membawa banyak peluang, namun juga menantang stabilitas identitas personal dan sosial seseorang, khususnya saat proses pencarian jati diri.
Kebebasan berekspresi, dialog terbuka, dan keterlibatan dalam kehidupan sosial menjadi fondasi utama pembentukan karakter yang sehat. Namun demikian, dalam proses bersosial tersebut tersimpan tantangan serius yang kerap luput disadari—salah satunya adalah fenomena labeling atau pelabelan sosial.
“Do not judge a book by its cover” - walaupun terkesan sepele, namun fenomena labeling dapat dikaitkan dengan stigma dan diskriminasi, kesenjangan sosial dan juga pengelompokan sosial. Labeling dapat dimulai dari perkataan yang, walaupun sering dibungkus sebagai candaan atau kritik membangun, menyimpan muatan stereotip.
Labelling merupakan proses di mana individu atau kelompok diberikan “label” tertentu oleh masyarakat berdasarkan perilaku, status, atau karakteristik yang tampak. Label ini seringkali berasal dari persepsi atau stereotip yang tidak selalu akurat.
Padahal sesungguhnya dalam mengenali manusia, tidaklah butuh waktu yang sebentar - setiap individu mempunyai tingkat keterbukaan diri yang berbeda dengan memiliki personality masing-masing. Dalam pendekatan, setiap individu dapat dijumpai dari sifat pemalu hingga mereka yang dapat dengan mudah mengekspresikan diri dengan penuh karisma.
Dampak labeling bagi beberapa kaum dan bahkan individu tidak main-main, terutama dalam hal yang menyinggung etnis, rasial sekaligus dalam ruang profesional. Dalam konteks sosial sehari-hari, candaan yang menyelipkan unsur rasial, gender, atau status sosial sering kali dianggap wajar dengan catatan lawan bicara sudah mengenal baik, nada bicara dan kelakuan anda. Di beberapa negara luar, terdapat pula topik sangat sensitif untuk dibicarakan atau bahkan diasosiasikan - dikarenakan adanya sosialita sejarah kenegaraan.
Dalam ruang profesional atau institusional, ucapan tersebut berpotensi menimbulkan kesalahpahaman yang dapat memecah teamwork atau fokus dalam bersosial dan bahkan retaliasi yang tidak diinginkan. Sensitivitas terhadap latar belakang individu dan konteks sosial menjadi penting, terutama dalam membangun komunikasi yang sehat.
Menurut sosiolog Jon Gunnar Bernburg, labelling menitikberatkan pada bagaimana sebuah grup sosial memberikan cap atau identitas baru kepada individu yang dianggap menyimpang dari ekspektasi umum. Label ini tidak hanya mempengaruhi cara individu tersebut dipandang, tetapi juga bagaimana mereka memandang dirinya sendiri.
-
Krisis Identitas
Individu yang terus-menerus diberi label negatif bisa kehilangan rasa percaya diri dan mengalami kebingungan identitas. -
Penurunan Kesehatan Mental dan Fokus
Labeling bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi, terutama jika individu merasa dikucilkan atau tak dihargai di lingkungannya. -
Penghambat Perkembangan Kognitif, Kepercayaan Terhadap Ruang Sosial dan Kreativitas
Seseorang yang terus-menerus diremehkan atau distereotipikalkan akan mundur dan menghindar untuk mengekspresikan potensi, karena rasa tidak pantas serta stress internal. Hal ini dapat menghambat keterbukaan dan kemampuan bersosial individu dalam jangka panjang.
Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, terutama dalam dunia Universitas dan Kerja, kemampuan untuk tidak menghakimi—melainkan memahami—menjadi kunci utama membangun masyarakat yang inklusif dan empatis, tidak hanya dalam skala external seperti profesional namun juga menggali lebih dalam “what makes them tick” atau apakah motivasi mereka. Walaupun hal tersebut cenderung sulit dilakukan karena individu mempunyai keterbukaan yang variatif, namun dengan pendekatan yang tepat maka akan terjalin komunikasi yang tidak hanya efektif namun juga damai (peaceful)
Identitas seseorang seharusnya dibentuk oleh kesadaran dan pilihan dirinya sendiri, bukan oleh label yang diberikan orang lain. Meskipus sedikit sulit, namun marilah kita ciptakan ruang yang lebih aman, dan lebih manusiawi—mulai dari tempat kita belajar dan bekerja.
(Kornelia Johana Dacosta / Humas UNDIRA)
Press Contact :
Biro Humas & Sekretariat Universitas Dian Nusantara
Facebook : www.facebook.com/undiraofficial
Instagram : www.instagram.com/undiraofficial
Twitter : www.twitter.com/undiraofficial
www.undira.ac.id

Kampus Tanjung Duren
Jln. Tanjung Duren Barat II No. 1
Grogol, Jakarta Barat. 11470
Kampus Green Ville
JIn. Mangga XIV No. 3
Kampus Cibubur
Jln. Rawa Dolar 65
Jatiranggon Kec. Jatisampurna, Bekasi. 17432