Burnout Psikologis Pada Kultur Modernitas, Seimbangkanlah Kesehatan Jiwa dan Raga

21 Agustus 2024

Beberapa waktu lalu, terdapat berita bahwa salah satu dokter PPDS sebuah Universitas telah melakukan aksi tutup usia yang menurut penyelidikan sementara dilatarbelakangi oleh perundungan. Menurut salah satu anggota Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono, awal mula jenazah mahasiswi Fakultas Kedokteran bernamakan Aulia Risma Lestari yang ditemukan pada hari Senin 12 Agustus pukul 23.00 WIB di kamar kostnya di kawasan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur. Menurut laporan Kompol Agus yang didapat dari teman dekat korban yang datang untuk melihat keadaan Aulia, korban tidak dapat dihubungi sejak pagi hari.  

Dalam penyelidikan terdapat temuan kondisi wajah korban yang kebiruan serta buku harian yang menceritakan bahwa semasa kuliah, korban mengalami beberapa masa sulit. Dalam buku tersebut ditemukan korban mengalami gangguan mental yang diakibatkan oleh salah satu seniornya selama menjalani perkuliahan. Kompol Agus menyatakan bahwa “Dia mungkin sudah komunikasi dengan ibunya karena melihat buku hariannya itu, kelihatan sang korban merasa berat dengan pelajaran beserta senior-seniornya. Sang ibu juga sudah menyadari bahwa sang anak sudah memiliki niat untuk resign, sudah nggak kuat”.

Kasus yang terjadi pada Aulia Risma Lestari merupakan salah satu dari mayoritas kasus dimana depresi dan burnout psikologis pada Generasi Z yang terjadi di Indonesia. Burnout culture menjadi salah satu problematika yang disebabkan oleh kelelahan kronis yang muncul karena banyaknya tekanan di era modernisasi saat ini mulai dari masalah ekonomi, pergaulan, dan tata cara pengelolaan hidup yang tidak seimbang dimana seseorang mementingkan mengejar gengsi sehingga seseorang terjebak dalam beberapa problematika berkelanjutan lainnya.

Burnout culture adalah istilah yang merujuk pada lingkungan kerja atau gaya hidup di mana tekanan untuk bekerja keras dan terus-menerus berprestasi sangat tinggi, sehingga menyebabkan kelelahan fisik, mental, dan emosional yang berkepanjangan.

Burnout Culture sendiri selain dapat dilihat dari menurunnya produktivitas, dapat ditemui dari beberapa ciri seperti:

  1. Ekspektasi Tinggi: Ada tekanan untuk selalu memenuhi atau melampaui ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun dari atasan atau lingkungan sekitar. Pada beberapa generasi muda, adanya keinginan berlebih dengan justifikasi personal, dapat menimbulkan efek samping seperti delusi terhadap hal yang ingin diraih secara berlebihan.
  2. Workaholism: Dorongan untuk terus bekerja tanpa henti, sering kali melebihi jam kerja yang wajar.
  3. Minimal Istirahat: Kurangnya waktu istirahat yang memadai, termasuk waktu tidur yang cukup dan liburan.
  4. Stigma Terhadap Kelelahan: Merasa bersalah atau malu jika mengeluh atau mengakui kelelahan, sehingga kelelahan sering kali disembunyikan.
  5. Menurunnya Motivasi Dalam Berkegiatan: suatu hal repetitif secara natural dapat membuat seseorang merasa jenuh dan dapat berujung pada depresi, anhedonia dan burnout terhadap suatu kegiatan. 

Menurut Bernardin (1993), yang menjelaskan konsep burnout sebagai salah satu kondisi terhadap respon emosional terhadap stimulus tertentu. Dalam mayoritas kasus suatu gejala burnout terjadi pada Generasi Z dan para Milenial yang melakukan kegiatan tanpa adanya self care sehingga memupuk kelelahan yang berlebih. Dengan banyaknya tuntutan sosialita yang menyebabkan timbulnya rasa bosan dengan cepat atau rasa sensitivitas yang berlebihan, untuk itu penting bagi para generasi terutama bagi para Generasi Z untuk dapat menyeimbangkan pola kegiatan yang mereka lakukan atau memilah beberapa kegiatan produktif di waktu luang sebagai bentuk revitalisasi kesehatan jasmani dan rohani.

Dengan melakukan kegiatan produktif yang bervariasi, diharapkan akan meredakan stres serta tekanan beban kerja atau kuliah yang berlebihan. Adanya bantuan intrinsik dari masing-masing individu seperti pengelolaan emosi dan penetapan batas pergaulan juga dapat meringankan beban psikologis seperti timbulnya efek Stockholm dan inferiority Syndrome.  

Mengatur emosi dalam dunia pekerjaan dan akademik agar terhindar dari burnout dan stress tentunya menjadi hal utama yang diterapkan. Selain bermanfaat untuk facade profesional, ini juga akan menjaga hubungan kerja dan pergaulan agar seseorang tidak terlihat lelah karena “terbawa perasaan” dengan rutinitas yang dijalaninya.

Meningkatkan kepercayaan diri dengan adanya apresiasi terhadap life goals yang ditetapkan secara realistis juga dapat membantu menghindari stress terhadap kebiasaan toxic membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal tersebut karena burnout dan stress dapat juga muncul dari adanya ketidakpuasan atas diri serta ingin mempunyai apa yang orang lain punya. Pada zaman modern ketika seseorang dapat menjadi pribadi yang otentik serta mempunyai character value, seseorang sudah mendapatkan identitas dan self branding yang lebih dari cukup untuk menjalani kehidupan.

(Kornelia Johana / Humas UNDIRA)

Press Contact :

Biro Humas & Sekretariat Universitas Dian Nusantara

[email protected]

Facebook : www.facebook.com/undiraofficial
Instagram : www.instagram.com/undiraofficial
Twitter : www.twitter.com/undiraofficial
www.undira.ac.id

Lainnya

Kampus Tanjung Duren

Jln. Tanjung Duren Barat II No. 1

Grogol, Jakarta Barat. 11470

Kampus Green Ville

JIn. Mangga XIV No. 3

Kampus Cibubur

Jln. Rawa Dolar 65

Jatiranggon Kec. Jatisampurna, Bekasi. 17432

slot gacor slot gacor